ZONABERKABAR.COM – Raden Mas (RM), Djokomono Tirto Adhi Soerjo merupakan pelopor jurnalistik dan perintis industri surat kabar dan organisasi kebangsaan di Indonesia.
Dalam hidupnya, rentan waktu antara 1880–1918, Tirto Adhi Soerjo berhasil memicu kebangkitan pergerakan kaum terdidik di Indonesia dengan karya-karya jurnalistiknya.
Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan surat kabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot.
Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirto disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan.
Melansir dari laman Ensiklopedia Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880. Ia adalah putra dari Raden Mas Tirtonoto, Bupati Bodjonegoro.
Sementara itu, salah seorang kakaknya, yakni Raden Mas Said, merupakan Bupati Blora dan seorang tokoh reformasi sosial yang membuka sekolah untuk kaum perempuan. Kakaknya yang lain, yakni Raden Tirto Adi Koesoemo, adalah seorang jaksa di Rembang.
Selain itu, salah seorang sepupunya, yakni Raden Mas Brotodiningrat, adalah Bupati Madiun.
Historis
Tirto sebagai pendiri koran pertama di Indonesia, Medan Prijaji. Di masa itu, industri penerbitan surat kabar dikuasai orang keturunan Eropa dan Tionghoa.
Tirto dan kawan-kawan adalah pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar. Seluruh pekerja Medan Prijaji, mulai dari penanggungjawab, percetakan, penerbitan hingga wartawannya adalah pribumi.
Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R.
Adipati Djodjodiningrat (suami Raden Adjeng Kartini) menggantikan ayahnya. RM Tirto Adhi Soerjo dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan di Halmahera selama 6 bulan.
Kembali nya dari Ambon, pada 1914-1918, Tirto Adhi Soerjo sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada 7 Desember 1918. Mula-mula dia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973.
Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Ia mendapat anugerah semasa Orde Baru di tahun 1973 sebagai Perintis Pers Indonesia. Di masa pemerintahan SBY sekarang ini, selain gelar pahlawan nasional, RM Tirto Adhi Soerjo juga memperoleh tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana yang diserahkan kepada keluarganya pada 3 November 2006.
Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S.
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam.
Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
Takashi Shiraishi lewat buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji.
Tirto juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes.
Ini disebabkan karena Tirto memegang peranan penting dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia.
Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirto Adi Soerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur surat kabar Medan Prijaji di Bandung.
Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang Tirto sebagai berikut:
“Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang”
Tirto murid dari Stovia yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik”
Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan surat kabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirto sebagai wartawam tangguh yang memilki keberanian.
“Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan surat kabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan,” tulis Tjokrosisworo.(rjr)